Someone (not truly) Special


Ditulis dengan sedikit rasa geli. Tulisan ini dibuat persis seperti ketergantungantungan hidupku dengan Polysilane, harus selalu dibawa kemana-mana supaya kalau tiba-tiba kumat aku sudah sedia. Tulisan ini dibuat benar-benar untuk dibaca berulang kali, saat mungkin aku lagi kesal, saat mungkin aku lagi kecewa, atau mungkin terjadi sesuatu yang aku tidak inginkan. Supaya aku tidak lupa, dia tetap orang baik. 

***

“Kamu bilangnya sayang, tapi nggak pernah bilang sayang”

Aku baru tau kalau ternyata mengucapkan sayang sesulit itu. Ada harapan yang lebih dalam tersimpan setelah kata itu tersampaikan. Bukannya tidak sayang, tapi biarlah masih sebagian dari diriku yang mengakuinya.

Dia sudah beberapa kali aku tuliskan. Dia sudah beberapa kali aku keluhkan. Berhenti, kembali lagi, berhenti, kembali lagi. Belum pernah rasanya aku menjadi orang selabil itu. Tapi dari dia aku belajar tentang ekspektasi dengan raga lain. Terima kasih, karena pada saat waktunya tiba aku sudah bisa mengelola ekspektasi ini. Dan waktu yang dia kasih sejauh ini terasa tepat.

Aku yakin ini terlalu cepat untuk dideskripsikan, tapi aku sengaja ingin menuliskan saja karena aku tidak tahu apa yang akan terjadi di depan sana. Kita berjanji untuk membuat cerita bersama, tapi kita sama sama tidak bisa memperkirakan cerita apa yang akan kita buat. Kalau kata para sahabat, “jalani aja”.

Untuk orang yang bukan mama, papa, dan adik-adik tapi aku dengan tidak ragu menyebutnya dalam doa, terima kasih ya sudah menyebutku prioritas walaupun aku tau aku masih kalah dengan game onlinemu itu. Tidak, aku tidak marah. Aku tidak mau laranganku menyebabkan aku bukan tempat untuk melepas penat, tapi malah sarang kepenatan. Tapi lihat, aku akan mengalahkan dia (re: game onlinemu).

Untuk orang yang tau bagaimana gengsinya aku, terima kasih untuk tidak pernah memaksa aku untuk membalas, tidak memaksa aku cerita sampai aku siap, dan punya cara terbaik untuk mendengarkanku marah-marah. Walaupun kadang aku tau aku ditinggal tidur padahal aku sudah semangat untuk bikin pekak telinganya. Aku suka sekali kalau dia bilang, “nggak usah cerita kalo belum siap”. Karena tiga tahun mengenal kebusukannya, aku tau kapan dia bohong dan tidak.

Untuk orang yang mengajakku mendoakan ini bersama-sama, semoga Tuhan memberikan yang terbaik dan yang terbaik itu adalah apa yang kita inginkan. Semoga sejauh apapun kita pergi, kita selalu merasakan tempat pulang terbaik adalah kita. Semoga sebanyak apapun orang yang kita temui, kita selalu merasakan bahwa kita itu sudah cukup. Semoga disetiap kehidupan yang kita perjuangkan, ada kita dalam cita-cita yang harus dicapai.

Aku tidak tau pelajaran apa yang akan kita pelajari bersama sama nanti. Tapi sama seperti harapan kita di pergantian tahun kemarin, “semoga kita bisa bareng bareng terus”. Tetap marah-marah jika tidak suka, tetap banyak bicara jika kesal, tetap berani menangis jika sedih, tetap tertawa terbahak-bahak jika bahagia. Karena jika itu berubah, itu bukan kita. Itu adalah ujung kita. Jangan ya.

Jarak adalah penyebab kebutuhan kita tidak bisa terpenuhi seutuhnya. Kita tidak lagi dapat menghabiskan waktu bersama setelah makan malam sambil antri pisang keju atau makan mc flurry di pinggiran mall. Ya semoga saja ketika jarak sudah hilang, kita tidak akan meminta Tuhan memberi kita jarak dalam bentuk apapun.

Untuk segala bentuk penerimaan apa adanya, terima kasih. Ayo kita bertemu lagi dengan 23 Desember selanjutnya! 





Komentar

Popular Posts

Asisten Praktikum : Bertransformasi

Indonesia sudah Menyediakan Kebebasan Berpendapat, Budaya Diskusi itu Penting!

Aplikasi Penerapan Hukum Joule dalam Kalorimeter (Tugas Akhir Praktikum Fisika Dasar II)