Anxiety
aNGˈzī-itē (n) : a feeling of worry, nervousness, or unease, typically about an imminent event or something with an uncertain outcome
Anxiety about being government employee. Awalnya pengen nulis itu sebagai judul, tapi nggak jadi karena kepanjangan. Tapi inti dari tulisan ini sebenarnya adalah kekhawatiran. Kekhawatiran karena sebentar lagi akan masuk kerja, bener bener jadi karyawan. Ditambah lagi amanah yang didapat adalah menjadi seorang abdi negara. Aku sebenarnya berencana ingin bahas khusus soal pekerjaan ini nanti setelah aku udah secara resmi diterima. Tapi karena merasa bahasan ini perlu ditulis, aku coba ceritakan singkat seperti apa pekerjaanku nanti.
***
Bulan Oktober 2018 kemarin yang emang rentang waktunya nggak terlalu jauh sama wisudaku, ada pembukaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) yang cukup besar. Hampir seluruh instansi pemerintahan buka dengan berbagai macam kebutuhan formasi, mulai dari pemerintah daerah sampai kementerian, termasuk pemerintah kota Bontang. Salah satu formasi yang dibuka oleh dinas pendidikan membutuhkan sarjana mipa. Atas rekomendasi (dengan sedikit paksaan) orang tua, akhirnya aku mendaftar, mengikuti seluruh tes, dan long story short aku Alhamdulillah lolos. Pengumuman kelulusan udah dari awal Februari, kemudian pemberkasan dan setelah itu aku harus menunggu Surat Keputusan (SK) dan NIP untuk bisa memulai kerja. Sampai hari aku menulis ini, aku dan 187 orang lainnya sedang menunggu itu.
Aku coba deskripsikan singkat tentang formasi yang aku pilih ini. Formasi yang dibuka oleh dinas pendidikan ini bernama Pamong Belajar Ahli Pertama (I told my friends, and they think I'm gonna be Satpol PP-_-). Jadi kalo guru yang bergelar Sarjana Pendidikan itu dibutuhkan untuk pendidikan formal, si pamong ini dibutuhkan untuk pendidikan non formal. Berdasarkan hasil aku baca baca dan setelah melewati tes kemampuan bidang, segmentasi dari formasi ini adalah pengabdian masyarakat dalam bentuk pengembangan keterampilan. Sebenarnya formasi ini juga memasukkan sarjana pendidikan luar sekolah sebagai persyaratan dan ternyata lebih linear daripada sarjana mipa. Tapi sampai sekarang aku masih belum menemukan jawaban kenapa sarjana mipa dibutuhkan disini.
***
Balik lagi tentang kecemasan. Kecemasan ini muncul karena aku takut akan menjadi orang lain yang lupa diri, lupa tujuan, bekerja hanya untuk diriku sendiri, dan hilang kesadaran tentang hal yang benar atau salah untuk dikerjakan. Lingkungan kerja sudah pasti akan berbeda dari kuliah. Yang perlu dipertahankan adalah kontrol diri karena selalu ada alasan atau pun pembenaran untuk menjadi curang. Kekhawatiran yang aku maksut tidak hanya tentang input, maksutnya aku akan menjadi seperti apa nanti. Tapi juga tentang output, apa yang aku bisa berikan disana. What will I end up?
Pertama adalah tanggung jawab untuk diri sendiri. CPNS ini selalu dikaitkan dengan hidup yang terjamin dan berkecukupan sampai hari tua, dan nggak hanya untuk diri sendiri tapi juga keluarga. Ada yang pernah bilang, katanya kebutuhan kita akan selalu meningkat seiring dengan meningkatnya income. Jadi jangan kira misalnya saat ini kita merasa cukup dengan apa yang kita butuhkan, maka kita akan dengan mudahnya saving saat income kita meningkat. Material is a great seducer. Aku khawatir apakah aku bisa punya tabungan atau engga, seberapa banyak aku bisa menyisihkan gajiku, seberapa tinggi gaya hidupku akan berubah, seberapa baik aku dalam mengatur finansialku, berapa banyak milikku yang bisa aku bagi dengan yang membutuhkan, atau seberapa besar hartaku bisa memberi manfaat untuk sekitar. Untuk saat ini aku mencoba melakukan tindakan preventif dengan banyak belajar tentang konsep minimalis, mulai menulis financial planning, dan nulis pengingat seperti ini.
Kedua adalah tanggung jawab untuk diri sendiri dan orang lain atau pengabdian. Beberapa gambaran bad habits seorang Aparatur Sipil Negara bisa dilihat disini. Mulai dari ketika aku mengerjakan soal tes kemampuan bidang yang jelas banget pekerjaan ini seputar pengabdian masyarakat. Jadi mikir, kira kira seberapa besar ya kebermanfaatan yang bisa aku kasi? Nggak usah bermanfaat dulu deh, minimal nggak pernah berhenti buat memberi. Karena kasarnya aku emang digaji untuk itu. Khawatir aja suatu saat aku akan menjadikan pekerjaanku hanya sebagai tempat menyejahterakan diri sendiri dan keluarga. Jadi ya kerja aja, supaya gaji nggak kurang. Nggak punya visi bekerja apapun, nggak memberikan kontribusi yang bener bener berarti, bahkan improve diri aja udah nggak penting. Bisa jadi suatu saat aku sibuk mengisi kehidupan pribadiku sampai aku lupa dengan apa yang harus aku berikan disana. Sampai sekarang aja aku kesel liat guru guru sekolahan yang kalo ngajar cuma yang penting materinya habis aja. Kejahatan-kejahatan kecil, nggak ada apa apanya sama korupsi uang negara milyaran mungkin. Tapi serem aja ketika ternyata kejahatan-kejahatan kecil ini mulai kita tidak sadari bahwa ini sebuah kejahatan. Siapa yang bisa menyebut kejahatan besar atau kecil berdasarkan besar yang ditilep? Dampak yang dihasilkan itu yang harusnya menjadi tolok ukur besar atau kecilnya suatu kejahatan.
Kehilangan kesadaran ketika dalam koridor yang nggak benar itu yang berbahaya. Biasanya itu terjadi karena melakukannya berulang ulang. Berada di kondisi yang mengharuskan melakukannya adalah bukan alasan. Karena sepertinya hidup selalu punya pilihan. Semoga benteng keimanan selalu menyertai. Ingatttt masih ada kehidupan selanjutnya dimana semua ini akan dipertanggung jawabkan hanya oleh kita sendiri.
Semoga kekhawatiran yang direpresentasikan oleh tulisan ini bisa menjadi pengingat dan alasan untuk membuat pilihan yang tingkat keburukannya paling rendah.
Good luck, Pewe.
Komentar
Posting Komentar