Instagram

Apa hal yang nggak pernah kamu lewatkan dalam sehari atau bahkan setiap lima jam dalam hidupmu? Di zaman sekarang, aku mungkin bisa menjawab buka timeline segala social media yang ada di masing-masing smartphone kita. Rasanya untuk orang dengan rentan umur antara 13 sampai 45 tahun punya social media, minimal facebook. Itu udah minimal banget. Soalnya tante-tante dan ibu-ibu tetanggaku sekarang selain punya hobi ngerumpi di sore hari, ya komen komenan status di facebook. Praise the techonology.

Akhir-akhir ini aku merasa mulai jenuh dengan salah satu social media paling sering dibuka sama anak-anak seumuranku, instagram. Instagram sekarang semakin oke, karena yang dulunya kita hanya bisa mengupload foto dengan filter seadanya atau kadang #nofilterneeded, ngelike postingan dan komen foto orang lain, ngedm seperlunya aja, dan sekarang kita bahkan bisa melihat temen kita udah belajar apa belum buat kuis besok. Ya itu, platform yang ikonnya kamera dengan dominasi tampilan berwarna biru putih dan sekarang udah jadi degradasi warna pelangi.

Kejenuhan ini bermula ketika aku yang lebih suka buka halaman explore daripada timeline sendiri (yang isinya hanya update dari following aja) dan baru-baru aja menyadari bahwa terlalu banyak pengguna yang stereotype. Ya itu suka-suka penggunanya aja sih, kan I post what I want. Tapi ya aku jadi jenuh aja ngeliatnya. Ditambah lagi sama fiture Instastory. Jujur, sebelumnya aku emang pengguna instastory yang lumayan aktif. Tapi, belakangan ini ngerasa di beberapa hal mulai nggak cocok denganku. Rasanya secara nggak sadar si instastory ini menuntut ingin tau apakah hari ini kita lagi ngapain, jalan sama siapa, makan dimana, ngedengerin lagu apa, sampe maskeran pake apa. Kalau kita lagi makan di tempat yang oke ya kita harus nge-instastory, kalau kita lagi jalan kemana ya kita harus nge-instastory, dan jangan lupa sertakan locationnya ya.

Karena aku merasa pikiranku ini agak aneh akhirnya aku teringat Habel, seorang temen yang punya instagram tapi nggak pernah upload instastory dan aku menanyakan hal itu. Jawabannya lumayan panjang, “karena hilang dalam 24 jam maka nanti jadi nggak mikir, cenderung free untuk nyampah. Aku hampir nggak pernah delete postinganku di medsos apapun. Biar pas mosting tuh mikir gitu looo, “kalo nulis begini, dibaca di masa depan ntar bikin malu nggak ya. Kalo nulis begini, dibaca HRD pas lamar kerja gimana ya. Kalo gini, dibaca keluarga atau orang gereja malu nggak ya”. Dan aku pingin sesuatu yang ada historynya sih, bisa ku scroll scroll sendiri. I enjoy my own timeline/feed. Oh ya, dan aku merasa nggak perlu semua orang tau aku lagi ngapain atau dimana. Path is quite good, but I neither don’t want to share my activities, nor to see everyone’s activities”. Alhamdulillah yang aku rasain berarti nggak aneh aneh banget juga. 
belum tentu feed instagram yang oke artinya hidup penggunanya juga udah oke
Instagram adalah salah satu influencer terbesar saat ini, menurutku. Dan karena aku merasa akan berbahaya buat diriku sendiri, diantaranya mengurangi konsentrasi belajar, berpotensi iri dengan apa yang orang lain punya, sampai being arrogant dengan apa yang aku posting disana, akhirnya aku mencoba mengurangi penggunaan instagram di setiap harinya. Ya karena bukan mereka yang harus mengurangi postingan yang membuat aku terganggu, tapi akunya yang harus menarik diri. 

Belum lagi pengguna yang berasal dari public figure, artis misalnya. Artis (Indonesia) mana yang sekarang nggak pernah update foto endorsement? Terakhir aku liat sih cuman Nicholas Saputra, tapi nggak tau sekarang. Mungkin ada yang lain ya, intinya kebanyakan iya. Terus ntar netizen komen pada nanya itu baju, tas, sepatu, kacamata beli dimana. Aku ngerasa banyak kecenderungan kita untuk punya kiblat dan nggak jadi diri sendiri, berlebihan lagi, maksa lagi. I stuck with this thought till the day I write this.

Tapi bukan berarti aku nggak ngefollow artis atau selebgram juga sih. Ada, tapi nggak banyak. Kalau artis indonesia ya sedikit, kayak Dian Sastrowardoyo soalnya beberapa foto yang mbaknya upload biasanya dengan caption yang inspiratif jadi suka, ada lagi pasangan suami istri Ringgo Agus Rahman dan Sabai Dieter Morscheck yang anaknya lucu parah terus kalo upload foto biasanya captionnya kocak (tapi sekarang mbak Sabai banyak endorse juga jadi gimana gitu tapi tetep follow kok, asal Bjorka masi imut gapapa), terus Gita Savitri Devi (tapi sekarang juga banyak banget endorsenya jadi lebih suka langsung buka blog atau twitternya aja), dan Jovi Adhiguna Hunter (endorsenya nggak lebay dan aku emang suka gayanya si mas). Sisanya aku lebih banyak ngefollow artis korea (cause I pretty love k-dramas, as same as their artist) yang bedanya adalah mereka nggak pernah jadi korban endorsement. Serius. Mereka bener-bener ngeupload foto karena ingin membagi moment terbaik dia sama fans-fansnya. Ya paling promosi drama atau film terbarunya aja, tapi bener bener nggak annoying. Terus foto yang diposting juga jatuhnya malah nggak feed-able, nggak berusaha kelihatan ganteng atau cantik (kalo emang cantik atau ganteng sih mau foto belum mandi juga nggak akan salah). Jarang tuh upload foto lagi di red carpet atau ootd. Biasanya yang kayak gitu justru didapatnya di fanbase atau official account entertainment mereka.

 



Dan sisanya akun ku ini hanya memfollow teman-teman yang dikenal dan beberapa akun menarik yang menurut dia tidak mengganggu keberlangsungan hidup dan cara berpikir yang normal. Sebenernya intinya ya pakai apapun emang harus bijak dan nggak berlebihan. Hati-hati, masih mahasiswa berarti pfm nya masih harus berlaku. Moral force. Ya nggak sih?


Komentar

Popular Posts

Aplikasi Penerapan Hukum Joule dalam Kalorimeter (Tugas Akhir Praktikum Fisika Dasar II)

Asisten Praktikum : Bertransformasi

EXERGY: WORK POTENTIAL OF ENERGY (TERMODINAMIKA)