Pertanyaan di 16 Ramadhan

This post will contain pure rant. If you want something positive, just skip this one.

Pertanyaan ini nggak murni muncul di hari ini aja. Tapi aku mulai merasa sekarang harus menuliskannya karena aku udah nggak tau lagi mau ngebendung pertanyaan ini pake apa. Dan daripada aku akhirnya hanya akan ber-yaudahlah atau pertanyaan ini ketumpuk sama beban tugas akhir lalu kepalaku terpaksa tidak berusaha mencari jawabannya lagi. Aku sampe rela banget malem ini skip ngerjain revisian supaya aku nggak keburu kehilangan niat buat nulis ini.

***

Belakangan ini aku bersyukur banget sama society yang dikasi Tuhan sama aku. Aku dipertemukan dengan banyak orang yang bisa bikin aku jadi mikir tentang banyak hal. Yang bisa bikin aku secara nggak sadar buat punya alasan kenapa aku membuat suatu pilihan. Intinya, aku bisa menikmati hidup ini dengan cara yang lebih berarti aja. Salah satu hal yang aku maksut itu adalah soal agama.

Islam itu nikmat. Sama seperti yang aku pernah tulis disini tentang bagaimana bentuk kenikmatan yang aku maksutkan dan aku ngerasa udah berhasil ngedapatin itu. Tapi ternyata ada bagian lain yang membuat aku merasa ada ketidaknikmatan dan ini aneh. Sebagai manusia yang beragama, sudah seharusnya kita meletakkan Tuhan sebagai entitas utama dan meletakkan sebagai entitas utama itu ada konsekuensinya. Perkataan Tuhan itu mutlak tidak dapat ditolerir. Intinya kita harus taat. 

Bentuk ketaatan itu yang di beberapa sisi aku lihat sebagai suatu ketidaknikmatan. Ceritanya begini. Ada seorang temen aku dan kita pernah deket. Deket dalam artian sering berdiskusi hal-hal positif dan punya banyak pandangan yang sama untuk kondisi-kondisi tertentu. Aku mengkategorikannya sebagai temen yang asik. Sampai akhirnya aku memindahkannya ke dalam kategori temen yang sama sekali nggak asik. Karena dia berubah ke arah yang aku nggak paham dan itu drastis. Dia meninggalkan semua kebiasaan yang menurutku bukan bentuk kebiasaan yang negatif. Perubahan itu dekat dengan agama yang semakin dia coba untuk pahami, namun aku yang semakin nggak paham. Perubahan itu membuat aku akhirnya bertanya, apakah menjadi lebih baik dengan tujuan mengikuti apa yang benar dalam agama salah satunya adalah dengan melepaskan suatu bentuk pertemanan yang positif? Oh nggak, aku bisa-bisa akan kecewa kalo ternyata jawaban pertanyaan itu adalah iya.

Singkat cerita, aku mencoba beranikan diri untuk bertanya. Karena aku juga nggak mau terus terusan berprasangka. Aku nggak mau terus terusan berfikir bahwa belajar agama islam akan dibarengi dengan menciptakan ketidaknyamanan sama temen-temen di sekitar. Aku pikir apapun jawaban dia ya nothing to lose, kalo masuk di aku ya syukur dan kalo nggak masuk dan untuk seterusnya bakalan kayak gini aja ya aku nggak masalah. Akhirnya dia menjawab dengan cara yang nggak menunjukkan suatu bentuk defensif (hehe mikirnya udah kesel duluan sih) dan entah kenapa dengan jawaban itu aku lebih ikhlas buat menghormati apa yang udah dia pilih. Over all kayak gitu.

Tapi di beberapa bagian, logikaku nggak masuk. Tentang bagaimana cara membatasi hubungan dengan lawan jenis. Hubungan yang aku maksut adalah hanya dalam lingkup pertemanan dan sama sekali nggak lebih dari itu. Aku paham banget manusia itu dibekali nafsu yang bisa jadi racun buat manusia itu sendiri. Dan aku tau banyak orang di luar sana yang ancur gara-gara nggak bisa mengelola nafsunya dengan bener. Tapi apakah nafsu itu yang membuat manusia menjadi alasan untuk aku, temen-temenku, dan dia nggak bisa punya waktu yang banyak buat ngelakuin hal-hal positif bareng-bareng? Oh nggak, aku bisa-bisa akan kecewa kalo ternyata jawaban pertanyaan itu adalah iya.

Entah kenapa satu pertanyaan itu maknanya dalem banget di aku. Aku orang yang seneng banget ngumpul buat diskusi, sharing pemikiran sama temen-temen yang bisa bikin aku jadi tambah positif. Dan aku bener-bener belum bisa nerima kalo ternyata emang agamaku sendiri menciptakan bentuk aturan (bener-bener literally) yang ngebatasin aku sama hal ini. Dari sebegitu banyak hal yang bisa kita lakukan sebagai bentuk ketaatan sama Tuhan, aku percaya bahwa taat itu nikmat. Tapi begitu aku menemukan ini sama sekali nggak masuk sama logikaku dan aku nggak dapet kenimatan itu, aku percaya ada yang salah disini.

Peristiwa itu bikin aku sadar kalo dia bener-bener udah dapetin kenikmatan berislam yang aku belum dapetin sampe hari aku nulis ini. Buktinya aja, dia berani melepas banyak hal keduniaan yang aku sendiri masih belum siap membuat pilihan kayak dia. Dia ikhlas dan dia siap dengan semua resikonya, termasuk menghadapi orang kayak aku yang nggak bisa nerima perubahannya saat itu.

Tapi apa bener beragama itu memang ada ketidaknikmatannya? Oh nggak, aku bisa-bisa akan kecewa kalo ternyata jawaban pertanyaan itu adalah iya. Aku sepenuhnya masih percaya bahwa bentuk kecintaan sama Tuhan itu  semuanya nikmat.  

Satu pertanyaan itu jadi bikin beberapa pertanyaan serupa terkumpul di kepalaku. Tapi aku berharap semoga aja aku kayak gini adalah karena aku memang belum paham sama ilmunya, bukan agamaku yang sebenernya emang kayak gini. Oh nggak, aku bisa-bisa akan kecewa kalo ternyata emang iya kayak gini.

Semoga aja suatu saat aku bisa nulis lagi. Tentang ini. Sebagai bentuk jawaban sama tulisan ini.

Komentar

Popular Posts

Asisten Praktikum : Bertransformasi

Indonesia sudah Menyediakan Kebebasan Berpendapat, Budaya Diskusi itu Penting!

Aplikasi Penerapan Hukum Joule dalam Kalorimeter (Tugas Akhir Praktikum Fisika Dasar II)