Doktrin Mentalitas Mahasiswa (Indonesia) feat. Pejuang UAS

On going: Evaluasi Akhir Semester.
Dan saya yang masih setengah sadar dengan ungkapan, "IP itu bukan penentu segala-galanya".

Akhir-akhir ini beberapa kali terjebak dengan kata-kata "mentalitas". Apalagi direlevansikan dengan kaum mahasiswa. Jadilah mentalitas mahasiswa. Berat.

Feat. Pejuang UAS.
Dari begitu luasnya perspektif tentang mentalitas kami - mahasiswa - sebuah bagian sederhana berdampak besar. Apa kabar mentalitas mahasiswa saat menjalani satu bagian dari perjalanan, alias Ujian Akhir Semester?
Kejujuran itu mahal. Iya, untuk lingkungan yang unsupportable dan kita yang masih punya relativitas prinsip. Prinsip tentang bagaimana mendapat ip yang baik, bagaimana agar tidak ada mata kuliah yang mengulang, bagaimana agar saya tidak tertinggal dengan teman-teman, atau bahkan sampai bagaimana agar orang lain tidak menilai saya sebagai seorang yang punya kemampuan akademik yang tidak seberapa. Terlepas dari bagaimana mempertanggung jawabkan apa yang sudah kita lakukan selama ini kepada our support system, orang tua. Berbagai macam pertimbangan dari yang buruk sampai membaik-baikkan hal yang sebenarnya tidak baik membuat kita memilih menelantarkan prinsip dan idealisme, "realistis aja, aku maunya gini". A piece of how we get a way to finish the execution, yang katanya baik.

Lingkungan yang Unsupportable.
Indonesia sendiri punya peliharaan habit yang cukup destruktif. Pandangan hasil akhir kalah telak dengan proses. Berapa persen orang yang akan menyimpulkan bahwa seseorang yang sedang mengulang mata kuliah dengan ip dibawah 2.5 adalah orang yang pintar? At least, pintar itu perspective kan? Dan mengemukakan perspective tanpa tabayun itu satu mentalitas yang marken banget di lingkungan kita. Menampilkan cover sebaik mungkin bagaimana agar ketika orang lain melihat saya sebagai orang yang cerdas dan berwawasan, top eye cathching, left first impression as extraordinary person. Hal-hal seperti ini directly mentrigger setiap orang untuk menampilkan luaran yang terbaik.Padahal ketenangan diri itu hadir jika semuanya dikerjakan dengan cara yang baik. Dan seharusnya kesertaan Tuhan dalam proses itu bisa jadi landasan fundamental kita untuk menentukan hal yang baik dan buruk. Karena pada kenyataannya, sudah menjadi dewasa bukan berarti sudah mampu membedakan hal yang baik dan buruk, justru semakin mudah membawa segala pembenaran hanya untuk berdalih "aku loh nggak salah".
Hal-hal yang cukup notice melihat ada saja yang mencoba menghalalkan hal-hal yang tidak halal, karena menganggap bahwa yang halal adalah unjuk hasil terbaik. Nyata sekali reward dari lingkungan akan sangat besar. Serendah itu kah kita memandang sebuah proses belajar?

Mentalitas
Bukan tentang bagaimana berusaha memilih cara yang paling baik. Tapi tentang bagaimana membawa diri siap untuk menerima hasil dibawah ekspektasi. Bukan menurunkan target, bukan juga pesimis. Berusaha meyakinkan diri bahwa belajar itu proses dan bukan ditentukan dari 90 menit setiap enam bulannya. Namun, apa yang sudah didapat dan apa yang akan diestafetkan ke sekitar. Esensi dasar yang terlupakan.
Belajar memahami bahwa kemampuan seseorang itu berbeda, dan setiap perjuangan itu punya harga dari Tuhan. Perjuangan kita mau dinilai berapa?




Satu lagi,
mengapa harus takut dengan pandangan sesama yang diciptakan
padahal pertanggung jawaban terbesar adalah ke Yang mencipatakan.


Balikpapan, 8 Desember 2016
Mencari hiburan karena sadar akan membawa hasil yang kurang optimal.

Komentar

Popular Posts

Aplikasi Penerapan Hukum Joule dalam Kalorimeter (Tugas Akhir Praktikum Fisika Dasar II)

Asisten Praktikum : Bertransformasi

EXERGY: WORK POTENTIAL OF ENERGY (TERMODINAMIKA)