Krisis Tahun Terakhir
Minggu ke 0 perkuliahan, 11 SKS dengan beban yang lebih berat dari ketika aku mengambil 24 SKS. Gimana persiapanmu habis semester 8 ini Pew? Sebulan terakhir ini aku hampir tiap hari pasti terlintas memikirnya. Entah baru bangun tidur, di sela sela mengerjakan proposal tugas akhir, atau lagi asik asiknya nonton variety show korea – hiburan recehku setelah seharian dihadapkan dengan nanopartikel dan anak buahnya. Aku semakin merasa tabiat over thinking ku ini cukup menyusahkan.
Lima tahun lagi ketika ada yang menanyakan aku sebuah pertanyaan, “what was your biggest worry 5 years ago?”. Dengan mudah aku akan menjawab, “apakah mungkin aku bisa hidup hanya dengan diriku sendiri?”
***
Mungkin aku pernah menyebutkan sedikit di tulisanku sebelumnya, aku ingin sekolah lagi. Ya aku memang minim pemahaman tentang dunia industri itu gimana. Mungkin aku justru saat ini lebih paham tentang dunia riset di Indo daripada dunia industrinya. Bisa jadi karena aku belum paham, makanya aku belum tertarik. Oleh karena itu sebisa mungkin aku ingin memudarkan subjektivitasku tentang dunia riset yang akhirnya membawa aku pada tujuan ingin sekolah lagi aja. Yang membuatku sama sekali tidak tertarik untuk mencari peluang di dunia kerja seluas dunia industri atau sejenisnya.
Sampai hari dimana aku menyaksikan diriku yang mulai mengerjakan tugas akhir ini, rencanaku bisa kukatakan ada. Tapi minim. Setelah lulus, aku hanya ingin lebih banyak mendapatkan murid les. Setelah itu aku akan belajar bahasa inggris lebih banyak. Dan membuat kesiapan diri maupun penunjang lainnya untuk sekolah lagi. Tanpa “support” siapapun, termasuk orang tua. Ini adalah hantuku di semester 8, beneran! Yaaa itu ngga mudah~
***
Hari Sabtu 27 Januari 2018, tiga hari sebelum aku memulai menulis tulisan ini. Aku tidak mungkin melupakannya. Adalah hari dimana aku pertama kali dibuat berpikir hampir seharian dengan mimpi. Di tanggal 25 Januari, seorang dosenku memberikan sebuah link di grup line kami. Ya link untuk melanjutkan sekolah di Taiwan. Bermodal iseng (banget) akhirnya aku buka link itu dan entah kenapa aku pertama kalinya (serius) merasakan ketertarikan untuk mencoba lebih jauh (dari biasanya). Btw dosenku yang satu ini sering banget membagikan info lomba atau info beasiswa atau semacamnya ke grup kami, tapi paling jauh aku hanya akan membuka halaman awal linknya dan menutup tanpa ada pertimbangan untuk melanjutkannya. Dan di hari ituuu….aku sampai menghubungi contact person via email. Beliau adalah seorang profesor sekaligus ketua departement Natural Science Physics, ya departement yang aku iseng klik itu.
Aku mencoba email tanpa pikir panjang dan dengan kemampuan berbahasa inggrisku yang seadanya. Benar-benar aku saat itu hanya berfikir untuk iseng mencoba. Ini adalah pertama kalinya (lagi) aku melakukan ini. Isi emailku pun sangat payah, hanya perkenalan singkat diri, penelitian yang sedang aku kerjakan, dan ketertarikanku dengan program itu. Tanpa merecheck apakah ada yang typo atau grammarku sudah benar atau belum, aku mengirimkannya. Di satu jam setelah aku mengirimkan, aku mungkin sudah nyaris 10 kali merefresh inbox emailku. Dan akhirnya aku tutup tab gmail di google chromeku dan berjanji tidak akan membukanya lagi di hari itu.
Sejujurnya saya agak malu ngepost ini disini haha, mungkin ada yang bisa mengoreksi cara ngemail profesor yang lebih baik dan benar haha. |
Di hari berikutnya aku bahkan sudah melupakan apa yang kemarin aku lakukan. Sampai di dua hari kemudian aku mendapati sebuah notifikasi inbox baru di emailku. Satu dari tiga profesor yang aku email ternyata membalas. Yang membuat aku bersyukur pertama kalinya adalah, bagaimana beliau menjawab emailku.
Bahagia saya emang agak receh. Tapi serius, dibalas oleh profesor sekelas reviewer jurnal Elsevier itu membahagiakan!! |
Akhirnya aku ikuti petunjuk beliau. Ternyata aku belum bisa melakukannya sekarang karena masih terdapat beberapa requirements yang aku belum punya. Tapi terlepas dari hal-hal tersebut, aku hanya merasa Tuhan baiknya luar biasa. Untuk yang kesekian kalinya Dia tahu cara membuat satu manusia yang sering lalai bersyukur ini bisa punya harapan. Hal yang terlihat sederhana (banget) ini, adalah tidak sesederhana itu bagiku. Kejadian ini sukses membuat aku bersemangat untuk belajar lagi, berusaha sebaik mungkin di tugas akhir, mengajar dan bekerja sebaik mungkin di pekerjaanku, dan berdoa seintensif mungkin.
***
Aku tetap mencoba mempersiapkannya, sambil terus dengan pertanyaan:
Aku yang kayak gini, beneran bisa kah sampai kesana?
Kuat kah aku berkomitmen sampai titik penghabisan?
Ini bakalan jadi mimpi aja kayaknya. Tinggi banget eh.
Meskipun aku sendiri juga sangat sadar.
Jangan sok tau! Kalo nggak ada yang dikerjakan ya hari ini dengan enam bulan lagi nggak akan ada bedanya.
Ya bukan kah saat ini aku hanya perlu berusaha lebih banyak dari biasanya saja?
Ya saat ini aku hanya harus memilih ketika lima tahun lagi aku menjawab pertanyaan di atas, aku harus menjawab dengan kebahagiaan atau penyesalan.
Semoga aku, kamu, dan kita semua suatu saat bisa membagi cerita kesusahan kita saat ini. Di posisi bahagia dan bersyukur versi kita masing-masing nanti yaa!
Aku yang kayak gini, beneran bisa kah sampai kesana? Bisa.
BalasHapusKuat kah aku berkomitmen sampai titik penghabisan? Kuat, InshaAllah.
Ini bakalan jadi mimpi aja kayaknya. Tinggi banget eh. Kalau gak tinggi mungkin namanya bukan mimpi.
Aamiin huhu:') makasih banyak panutan akuu!
Hapus