Hasil Observasi Tempat Kerja
Setelah tulisan terakhir di dua minggu yang lalu. Haiii! Masih sama tentang tempat kerja yang baru. Tapi sekarang mau bahas hasil observasi setelah memasuki minggu ketiga kerja disana. Aku emang banyak merhatiin sekitar sih, mulai dari sistem yang dipake, teteh-teteh sama akang-akang disana (sebutan untuk pengajar), dan murid-muridnya.
Ternyata kebutuhan untuk bimbel di luar sekolah itu bener-bener tinggi. Di Balikpapan, satu lembaga bimbel aja bisa punya lebih dari dua cabang dan ada sangat banyak lembaga bimbel disini. Mereka ternyata punya segmentasi pasar masing-masing dan nggak perlu takut kehilangan konsumen. Contohnya aja tempat aku, segmentasinya emang anak kelas XII dan SBMPTN. Beda lagi sama bimbel yang merah-kuning itu loh, mereka segmentasinya lebih umum ke semua jenjang awal dan pertengahan sekolah. Masing-masing tempat bimbel juga punya penawaran program yang beda-beda dan sama dibutuhkannya sama anak sekolahan.
Tapi kenapa banyak yang butuh bimbel di luar sekolah? Hasil aku nanya-nanya sama murid kelas aku dan pengajar di tempat aku ada dua alasan paling umum : nggak nyaman dengan guru di sekolah, bisa dibilang ngajarnya kurang jelas. Ada juga yang punya target tinggi di sekolah, misalnya mengejar ranking jadi butuh percepatan khusus supaya lebih unggul dari yang lain. Alasan kedua sebenarnya hanya dimiliki sama segelintir orang. Paling banyak ya alasan pertama. Tapi hal yang aku bisa simpulkan adalah kita nggak punya budaya untuk belajar mandiri. Anak-anak sering banget ngeluh bingung mau belajar apa. Anak SMA sekali pun. Dan aku sendiri juga baru ngerasain dipaksa belajar mandiri pas kuliah. Butuh bimbingan orang lain untuk menciptakan belajar yang terstruktur dan bisa paham. Pola yang terbentuk sudah seperti itu.
Bad sidenya adalah anak-anak udah punya kecenderungan hopeless kalo di sekolah. Maksutnya, mereka udah nggak mau mendorong dirinya untuk berusaha paham dengan apa yang gurunya jelasin. Mereka udah ngerasa punya backingan dari bimbel yang bisa memenuhi apa yang dia nggak bisa dapetin di sekolah. Akhirnya feedback mereka di kelas bisa berkurang dan dorongan untuk paham dengan cara yang lebih susah itu hilang. Karena di bimbel itu punya cara mengejar pemahaman yang berbeda. Disuapin dari awal sampai akhir, perhatiannya lebih terfokus karena sasarannya nggak sebanyak siswa di dalam kelas. Kekhawatiran untuk bertanya di tempat umum hilang karena bertanya dengan pengajar di bimbel itu sangat mudah. Bisa buat seseorang jadi kekurangan tempat untuk menjadi lebih berani. Ya semoga kamu semua paham maksut aku((:
Itu kalo dari sisi muridnya. Berbeda lagi kalau melihat dari sisi guru di sekolah. Menurut aku udah sewajarnya setiap guru itu punya target meminimalkan muridnya bimbel di luar sekolah. Even it's people choice, tapi sebaiknya guru itu menyadari bahwa mereka harus semaksimal mungkin memenuhi kebutuhan pemahaman murid di sekolah. Karena nggak semua orang tua mampu untuk ngebimbelin anak-anaknya di luar. Apalagi zaman sekarang harga bimbel udah di atas 1 juta tiap semesternya. Itu adalah beban yang seharusnya bisa dipertimbangkan oleh setiap guru untuk berusaha meningkatkan kualitas mengajar saat di kelas.
***
Di Balikpapan punya program zonasi kalau mau mendaftar ke sekolah. Ada kuota sekian persen untuk masyarakat yang berdomisili di daerah yang masih dalam satu lingkup dengan sekolah tertentu. Artinya ada kemungkinan sekolah unggulan diisi oleh anak-anak yang nilainya hanya rata-rata atau mungkin dibawah. Sebenarnya suatu sekolah bisa jadi unggulan itu dasarnya dari mana ya? Pendapat pribadi sih, sekolah bisa jadi unggulan itu karena guru-gurunya punya pengalaman mengajar yang lama dan lebih pro buat memahamkan muridnya. Abis itu muridnya jadi pinter, sekolahnya jadi unggulan. Soalnya kalo aku lihat sekolah-sekolah yang "b aja" itu biasanya karena sekolahnya emang baru, atau guru-gurunya pengalamannya belum lama, atau juga siklus pergantian gurunya cepet jadi sistem sekolahnya belum mengakar kuat. Cie haha.
Sekolah yang terbiasa jadi unggulan ini kadang malah kaget untuk menghadapi murid yang berangkat dengan pemahaman rata-rata. Karena sistem yang sudah mengakar itu tidak dirubah, justru yang awalnya punya tujuan untuk pemerataan pendidikan malah jadi salah sasaran karena ternyata murid yang tidak cocok dengan sistem tersebut tidak mampu untuk survive dan menciptakan noda aneh di sekolah unggulan itu. Makanya aku dan temen-temenku yang udah pada lulus dan nggak merasakan program zonasi ini melihat sekolah kami justru menurun, misalnya sekolahku yang udah dapet kabar ada yang "nakal" dengan segala ceritanya yang dulu mungkin nggak kepikiran akan ada di sekolahku.
***
Ya semoga saja sistem pendidikan di Indonesia bisa semakin membaik. Sebagai anak fisika aku harap di sekolah suatu saat dapat menerapkan prinsip kalo fisika itu bukan hanya menulis apa yang diketahui dan mana rumus yang cocok. Tapi memahami apa makna substansial dari rumus itu. Aku tau emang adegan tersebut terlalu dewasa *haha apasi* tapi merubah cara berfikir untuk satu aspek itu bisa mempengaruhi aspek lain. Serius. Hehe. Bye!
Komentar
Posting Komentar