Reflektorku
If you want something you never had, you have to do something you’ve
never done
– Anonymous, aku nemu
di Pinterest.
Kalau ada yang tanya ke aku selama
kuliah semester berapa yang paling berat, tentu saja jawabanku adalah semester
8. Setiap hari rasanya pundakku semakin berat. Lebih enak waktu aku harus
membawa tas dengan buku tebal-tebal kayak jaman bimbel SMA, yang dibawa masih
berwujud dan keliatan kalo itu berat. Sedangkan sekarang yang dibawa nggak
berwujud, nggak bisa dipegang. Karena belum bisa aku pegang itu ternyata bikin
jadi lebih berat. Yang kubawa ini namanya mimpi.
***
Minggu-minggu terakhir ini aku
lagi nonton salah satu program survival di korea selatan. Namanya Produce 101
(season 2). Acara ini sebenernya udah
hampir setahun yang lalu, maaf cupu jadi telat banget ngerasain euforianya
produce 101. Spoiler dikit, jadi program ini itu mengumpulkan 101 orang
yang ingin debut jadi idol dari berbagai manajemen di korea dan lolosnya mereka
ditentuin sama polling masyarakat. Untuk itu, tiap evaluasi (mereka nampil di
panggung) mereka dituntut untuk menampilkan sesuatu yang luar biasa dari
dirinya dan ngasih liat ke masyarakat kalo mereka berprogres, layak buat debut
jadi idol. Pesertanya macem-macem, ada yang udah jadi trainee 7 tahun tapi
cuman jadi back dancer, ada yang emang jadi trainee belum nyampe setahun, dan
ada juga yang udah debut tapi fail sama kerasnya cara buat survive di industri
hiburan korea.
Singkat cerita, dari 11 episode yang
aku tamatkan, 9 episodenya aku pasti nangis. Program ini bener-bener ngasih
liat kalo yang namanya ngejar mimpi emang nggak mudah. Ada waktu, tenaga, dan
emosi yang dikorbanin. Mereka harus nggak tidur, dan kelihatan banget kalo
kerjaan mereka bikin capek banget. Terus akhirnya di evaluasi masih nggak bisa
kasih yang terbaik. Yak itu sedih banget. Bahkan ada salah satu peserta yang
akhirnya lolos bisa debut bilang, “Ibuku
selalu mendukungku, mengeluarkan uang untukku sampai saat ini. Maaf sudah
menyusahkan terlalu lama”. Disitu kebayang sih gimana beratnya pundak yang
memaksa untuk terus berjuang. Kalimat maaf
sudah menyusahkan terlalu lama adalah kalimat yang benar-benar ingin
kukatakan ke orang tuaku suatu saat nanti.
Pokoknya dari program ini aku
merasa malu sih kalo ngeluh-ngeluh, capek-capek. Aku tau aku harus berjuang,
tapi kadang aku tiba-tiba suka letoy sendiri. Hopeless sendiri. Mendistraksi
masa depanku sendiri. Ternyata benar, limit kita itu diciptakan oleh kita
sendiri.
***
Sehabis pulang ngajar aku
biasanya selalu ke SPBU terdekat di daerah dam. Setiap malem aku selalu
ditawarin kue kelepon sama adik-adik cowok, sepantaran Wipa kayaknya. Mereka
nggak sendirian, ada dua sampai tiga orang yang jualan disana. Dan yang bikin
suka sedih sendiri itu jualan kelepon emang untungnya berapa ya? Mereka bisa
jajan nggak? Terus akhirnya merambat ke pertanyaan, mereka punya mimpi nggak ya?
Masih sanggup kah mereka bermimpi? Sementara malem aja, waktunya belajar,
istirahat, nyantai capek sekolah tapi mereka malah jualan. Nggak terlalu laku
juga. Ini bener-bener bikin aku ketampar karena nggak bersyukur. Di posisiku
sekarang aku malu buat sekedar menatap mimpiku. Aku malah dikerdilkan sama
mimpiku sendiri. Padahal posisiku masih lebih beruntung daripada adik-adik itu.
Masih banyak hal yang aku punya tapi mereka nggak punya dan mungkin dia ingin
punya itu. Apa jadinya kalo aku di posisi mereka?
***
Di rentang waktu yang dekat,
seorang teman kelahi zaman maba di ITS mengabarkan progres terbaru dari
hidupnya. Terakhir dia menghubungiku untuk mengabarkan kalo dia mencalonkan
diri sebagai ketua LMB (dia menepati apa yang dia bilang ke aku pas kami masih
maba) tapi kalah. Dan sekarang dia mengabarkan kalo dia mantap ingin jadi
pengusaha dan sedang aktif dalam sebuah start up. Dia menceritakan hal-hal
mendetail lainnya tentang bagaimana cara dia hidup saat ini. Aku yang
dikabarkan ini netah kenapa ikut ngerasain optimismenya dia sama apa yang
sekarang dia kerjain. “Rasanya optimisme
ini sangat menyenangkan dan menggairahkan. Sampai sampai badan kadang nggak
kuat karena menuruti pikiran”. Hypenya dia waktu cerita bener bener kerasa
sampe ke aku.
Singkat cerita dari obrolanku
malam ini dengan Ghinan, bikin aku sadar kalo dalam proses ini nggak ada yang
perlu dikhawatirkan. Kita hanya perlu membiarkan waktu terus bergerak dan
memberikan apa yang bisa kita berikan. Aku tau aku punya mimpi, aku kenal betul
mimpiku ini bagaimana. Tapi saking kenalnya, mimpi ini malah jadi beban yang
mengkhawatirkan di sana sini. Padahal aku baru mulai berproses, tanda berhasil
atau tidak saja belum kelihatan tapi keraguan berproses terus muncul. Ya aku
memang terlalu tidak percaya dengan kemampuanku.
***
Mimpi itu lahir dari
keterbatasan. Kalo bukan karena keterbatasan, ya semuanya hanya akan terlewati
dan bukan menjadi bagian dari pencapaian. Contohnya gini, kamu punya
penghasilan 15 juta per bulan dan kamu mau jalan jalan ke Jepang. Ya jalan-jalan
aja. Tapi untuk mereka yang punya penghasilan 1 juta per bulan, jalan-jalan ke
Jepang itu mimpi. Dan bisa jalan-jalan ke Jepang adalah sebuah pencapaian.
Mimpi itu mendobrak keterbatasan.
We only need ourself to make it done.
“Tidak masalah kalau saat itu kalah. Yang penting adalah perasaan bahwa kita telah memberikan semua yang kita
punya saat itu”
– Quote dari salah satu
anggota Big Bang di Produce 101
Komentar
Posting Komentar