Opini seseorang yang aku dapatkan dari twitter. Bahan refleksi diri yang tepat.
Satu tahun terakhir ini adalah
waktu dimana aku tiba-tiba mempertanyakan tentang suatu hal yang tidak baru,
bahkan hal itu hadir bersama dengan kehadiranku di dunia ini. Sebuah warisan
pertama yang orang tuaku berikan kepadaku untuk dijaga dan diteruskan. Islam.
Dari sekian banyak aspek yang
ikut mendewasa seiring bertambahnya umur, cara berfikir adalah hal yang paling
berdampak. Menurutku semua hal itu ada jawabannya dan semua hal itu bisa
dijelaskan dengan logikaku, logika manusia. Sampai sebuah pertanyaan akhirnya
muncul, tentang bagaimana aku harus memandang dan memperlakukan agamaku
sendiri.
Aku tumbuh di lingkungan keluarga
yang masih belum dapat dikatakan agamis. Papa akan marah kalau anaknya nggak
solat, tapi papa hanya selalu bilang kalau nggak solat itu dosa. Nanti masuk
neraka, dibakar di api neraka. Mungkin akhirnya aku solat bukan karena takut
nerakanya, tapi takut dimarahinnya. Positifnya adalah hal tersebut menjadi
kebiasaan untuk nggak meninggalkan solat. Apakah ibadah hanya sebatas
membiasakan diri untuk mengerjakan saja?
Waktu aku kelas dua SMA, aku dan
beberapa teman dekatku mengikuti kegiatan halaqah (mentoring keagamaan) yang
sifatnya rutin dan cukup mengikat. Catatan amalan ibadah kami ditarget dan dievaluasi
setiap minggunya. Aku mulai mengurangi intensitas menggunakan celana saat
keluar rumah, membiasakan untuk memakai hijab yang menutup dada dan nggak
menerawang. Aku ingat sekali fase itu adalah fase dimana aku merasakan
ketenangan batin yang nggak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Aku sangat
bersyukur dapat bertemu dan kenal dengan satu bagian dari bentuk ketaatan pada
agama.
Tapi aku kesal, kenapa semua bentuk
ketaatan itu tidak dibarengi dengan pemahaman esensi. Karena akhirnya tanpa
pemahaman tentang esensi, aku menjadi percaya kalau saat itu aku melakukannya
hanya karena lingkungan yang menginfluence aku yang pada dasarnya mudah
terinfluence terhadap sesuatu hal yang menurut mataku baik. Ya akhirnya setelah
lulus SMA aku kembali menjadi seseorang yang meyakini bahwa ibadah itu yang
penting solat dan baca Al-Qur’an.
***
Pertanyaan-pertanyaan tentang itu
terus berlanjut. Untungnya, aku masih berusaha mengikat diriku dalam kegiatan
halaqah. Sampai hari ini, halaqah adalah sumber utama pemahaman agamaku dan
penjaga keimananku. Sebuah lingkaran itu membebaskanku untuk bertanya apa saja
dan menemukan jawaban atas berbagai keraguanku.
Tapi, yang benar-benar baru aku
sadari tentang agama adalah ini bukan sekedar warisan. Bukan suatu hal yang aku
dapat karena orang tuaku memilikinya dan memberikan kepadaku. Bukan suatu hal
yang membuat aku merasa aku harus membantu diriku agar terselamatkan di
pertanggung jawaban hari akhir nanti. Dan bukan suatu hal yang menjadi
parameter bahwa aku ini manusia baik.
Pernah kah kamu merasa menginginkan sesuatu kemudian kamu meminta tapi
kamu tidak tau kepada siapa kamu sedang meminta? Kutipan itu aku temukan dari
sebuah buku yang baru saja aku selesaikan. Manusia diuji untuk melihat seberapa
kuat ia untuk hanya mengandalkan dirinya. Sering kali aku merasa ujianku berat,
tapi anehnya aku selalu tau aku harus melakukan apa dan meminta ke siapa. Aku bersyukur
aku masih diberikan keyakinan untuk tau tempat dimana aku harus menggantungkan
semuanya. Menurutku ini adalah iman.
Aku belajar agama dari kehidupan.
Sampai akhirnya aku menyadari bahwa ibadah bukan hanya sekedar kewajiban. Mungkin
aku tau kalau ibadah itu wajib dan aku akan berdosa jika tidak melakukannya,
tapi apakah lantas aku menjadi taat? Berapa kali pegangan itu sudah aku ingkari.
Karena ternyata agama bukan sekedar media untuk menyelamatkan diri, tapi sebuah
kebutuhan. Aku butuh sebuah penguat dari setiap hal yang aku kerjakan dan aku
butuh penyangga optimisme hidupku yang kayaknya nggak pernah mulus ini. Sampai aku
sendiri nggak bisa menjelaskan dari siapa aku mendapatkannya. Tapi yang jelas,
aku mendapatkannya hanya ketika aku menyisihkan waktuku untuk berserah diri dan
menyadari bahwa kuasaku bukan apa apa kalau Allah ngga menyertakan ridha-Nya.
***
Lantas bagaimana tentang istilah
yang dalam agama ini disebut sebagai pahala? Aku juga sedang mencarinya sampai
hari aku menulis ini.
|
Komentar
Posting Komentar